PERTOLONGAN PERTAMA KEGAWATDARURATAN OBSTETRI DAN NEONATUS
A. KEGAWATDARURATAN OBSTETRI
Perdarahan
yang mengancam nyawa selama kehamilan dan dekat cukup bulan meliputi
perdarahan yang terjadi pada minggu awal kehamilan (abortus, mola
hidatidosa, kista vasikuler, kehamilan ekstrauteri/ ektopik) dan
perdarahan pada minggu akhir kehamilan dan mendekati cukup bulan
(plasenta previa, solusio plasenta, ruptur uteri, perdarahan persalinan
per vagina setelah seksio sesarea, retensio plasentae/ plasenta
inkomplet), perdarahan pasca persalinan, hematoma, dan koagulopati
obstetri.
1. Abortus
Abortus
adalah pengeluaran hasil konsepsi yang usia kehamilannya kurang dari 20
minggu. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya amenore, tanda-tanda
kehamilan, perdarahan hebat per vagina, pengeluaran jaringan plasenta
dan kemungkinan kematian janin.
Pada
abortus septik, perdarahan per vagina yang banyak atau sedang, demam
(menggigil), kemungkinan gejala iritasi peritoneum, dan kemungkinan
syok. Terapi untuk perdarahan yang tidak mengancam nyawa adalah dengan
Macrodex, Haemaccel, Periston, Plasmagel, Plasmafundin (pengekspansi
plasma pengganti darah) dan perawatan di rumah sakit. Terapi untuk
perdarahan yang mengancam nyawa (syok hemoragik)
dan memerlukan anestesi, harus dilakukan dengan sangat hati-hati jika
kehilangan darah banyak. Pada syok berat, lebih dipilih keretase tanpa
anestesi kemudian Methergin. Pada abortus pada demam menggigil, tindakan
utamanya dengan penisilin, ampisilin, sefalotin, rebofasin, dan
pemberian infus.
2. Mola hidatidosa (Kista Vesikular)
Penyebab
gangguan ini adalah pembengkakan/ edematosa pada vili (degenerasi
hidrofik) dan proliferasi trofoblast. Diagnosis ditegakkan melalui
anamnesis yang ditemukan amenore, keluhan kehamilan yang berlebihan,
perdarahan tidak teratur, sekret per vagina berlebihan. Pada hasil
pemeriksaan, biasanya uterus lebih besar dari pada usia kehamilannya
Karen ada pengeluaran kista. Kista ovarium tidak selalu dapat dideteksi.
Pada mola kistik, hanya perdarahan mengancam yang boleh dianggap
kedaruratan akut, akibatnya tindakan berikut tidak dapat dilakukan pada
kejadian gawat-darurat.
Terapi
untuk gangguan ini adalah segera merawat pasien di rumah sakit, dan
pasien diberi terapi oksitosin dosis tinggi, pembersihan uterus dengan
hati-hati, atau histerektomi untuk wanita tua atau yang tidak
menginginkan menambah anak lagi, transfuse darah, dan antibiotika.
3. Kehamilan Ekstrauteri (Ektopik)
Penyebab
gangguan ini adalah terlambatnya transport ovum karena obstruksi
mekanis pada jalan yang melewati tuba uteri. Kehamilan tuba terutama di
ampula, jarang terjadi kehamilan di ovarium. Diagnosis ditegakkan
melalui adanya amenore 3-10 minggu, jarang lebih lama, perdarahan per
vagina tidak teratur (tidak selalu).
Nyeri
yang terjadi serupa dengan nyeri melahirkan, sering unilateral (abortus
tuba), hebat dan akut (rupture tuba), ada nyeri tekan abdomen yang
jelas dan menyebar. Kavum douglas menonjol dan sensitive terhadap
tekanan. Jika ada perdarahan intra-abdominal, gejalanya sebagai berikut:
1. Sensitivitas tekanan pada abdomen bagian bawah, lebih jarang pada abdomen bagian atas.
2. Abdomen tegang.
3. Mual.
4. Nyeri bahu.
5. Membran mukosa anemis.
Jika
terjdi syok, akan ditemukan nadi lemah dan cepat, tekanan darah di
bawah 100 mmHg, wajah tampak kurus dan bentuknya menonjol-terutama
hidung, keringat dingin, ekstremitas pucat, kuku kebiruan, dan mungkin
terjadi gangguan kesadaran.
Terapi
untuk gangguan ini adalah dengan infuse ekspander plasma (Haemaccel,
Macrodex) 1000 ml atau merujuk ke rumah sakit secepatnya.
4. Plasenta previa
Plasenta
previa adalah tertanamnya bagian plasenta ke dalam segmen bawah uterus.
Penyebab gangguan ini adalah terjadi fase pergeseran/ tumpang tindihnya
plasenta di atas ostium uteri internum yang menyebabkan pelepasan
plasenta. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan gejala utama. Pasien ini
mungkin tidak mengalami nyeri, perdarahan berulang atau kontinu dalam
trimester tiga atau selama persalinan tanpa penyebab yang jelas.juga
ditemukan uterus selalu lunak, abdomen tidak tegang, umumnya tanpa
kontraksi persalina atau hanya sedikit. Keadaan umum pasien berhubungan
dengan kehilangan darah. Sebagian besar bunyi jantung janin tetap baik,
bunyi jantung yang tidak memuaskan atau tidak ada hanya pada kasus
rupture plasenta atau pelepasan yang luas.
Tindakan pada plasenta previa
|
1. Tindakan
dasar umum. Memantau tekanan darah, nadi, dan hemoglobin, memberi
oksigen, memasang infuse, member ekspander plasma atau serum yang
diawetkan. Usahakan pemberian darah lengkap yang telah diawetkan dalam
jumlah mencukupi.
2. Pada perdarahan yang mengancam nyawa, seksio sesarea segera dilakukan setelah pengobatan syok dimulai.
3. Pada
perdarahan yang tetap hebat atau meningkat karena plasenta previa
totalis atau parsialis, segera lakukan seksio sesaria; karena plasenta
letak rendah (plasenta tidak terlihat jika lebar mulut serviks
sekitar 4-5 cm), pecahkan selaput ketuban dan berikan infuse
oksitosin; jika perdarahan tidak berhenti, lakukan persalinan
pervagina dengan forsep atau ekstraksi vakum; jika perdarahan tidak
berhenti lakukan seksio sesaria.
4. Tindakan setelah melahirkan.
a. Cegah syok (syok hemoragik)
b. Pantau urin dengan kateter menetap
c. Pantau sistem koagulasi (koagulopati).
d. Pada bayi, pantau hemoglobin, hitung eritrosit, dan hematokrit.
|
Terapi
atau tindakan terhadap gangguan ini dilakukan di tempat praktik. Pada
kasus perdarahn yang banyak, pengobatan syok adalah dengan infuse
Macrodex, Periston, Haemaccel, Plasmagel, Plasmafudin. Pada kasus pasien
gelisah, diberikan 10 mg valium (diazepam) IM atau IV secara perlahan.
5. Solusio (Abrupsio) Plasenta
Solusio
plasenta adalah lepasnya plasenta yang tertanam normal pada dinding
uterus baik lengkap mauppun parsial, pada usia kehamilan 20 minggu atau
lebih. Penyebabnya adalah hematoma retroplasenta akibat perdarahan dari
uteri (perubahan dinding pembuluh darah), peningkatan tekanan di dalam
ruangan intervillus ditingkatkan oleh hipertensi atau toksemia.
Diagnosis ditegakkan melalui temuan nyeri (akibat kontraksi peralinan
sering ada sebagai nyeri kontinu, uterus tetanik), perdarahan per vagina
(jarang ada dan dalam kasus berat, perdarahan eksternal bervariasi),
bunyi jantung jani berfluktuasi (hampir selalu melebihi batas-batas
norma, umumnya tidak ada pada kasus berat), syok (nadi lemah, cepat,
tekanan darah rendah, pucat, berkeringat dingin, ekstremitas dingin,
kuku biru).
Penderita
yang disangka menderita solusio plasenta dengan pendarahan genetalia
selama kehamilan lanjut, persalinan harus di rumah sakit. Selama solusio
plasenta, dapat terjadi hal-hal berikut:
1. Perdarahan yang mengancam nyawa dan syok.
2. Tromboplasti yang diikuti oleh apopleksi uteroplasenta.
3. Gagal
ginjal akut, pada kasus anuria atau oligouria yang lebih ringan, pada
kasus ginjal syok yang berat dan nekrosis korteks ginjal.
4. Infuse amnion (sangat jarang).
Tindakan
yang dilakukan di tempat praktik dokter harus hati-hati ketika
melakukan pemeriksaan luar, harus menghindari pemeriksaan vagina. Di
tempat praktik dokter, biasanya sangat sulit membedakan dengan jelas
solusio plasenta dari plasenta previa. Pasien diberi infuse Macrodex,
Periston, Haemaccel, Plasmagel, dan Plasmafudin, serta petidin
(Dolantin) 100 mg IM. Tindakan di rumah sakit meliputi pemeriksaan umum
yang teliti (nadi, tekanan darah, jumlah perdarahan per vagina,
penentuan hemoglobin, hematokrit dan pemantauan pengeluaran urin).
Profilaksis
untuk syok dengan mulai memberi infuse, menyediakan darah lengkap yang
diawetkan, pemeriksaan golongan darah dan profil koagulasi. Pemeriksaan
vagina, pada perdarahan hebat pecahkan selaput ketuban tanpa memandang
keadaan serviks dan nyeri persalinan. Tindakan ini harus diikuti dengan
infuse oksitosin (Syntocinon) 3 unit per 500 ml. Penghilangan nyeri dan
sedative untuk profilaksis syok menggunakan dolantin (Petidin), novalgin
(Noraminodopirin) IV, talwin (Pentazosin) IV dan IM.
Tindakan
tambahan pada janin yang hidup dan dapat hidup adalah dengan seksio
sesaria. Pada janin yang mati, usahakan persalinan spontan. Jika perlu,
ekstraksi vakum atau kraniotomi pada perdarahan yang mengancam nyawa
(juga pada janin yang mati atau tidak dapat hidup).
6. Retensio Plasenta (Plasenta Inkompletus)
Penyebab
gangguan ini adalah retensio (nyeri lahir yang kurang kuat atau
perlengkapan patologi) dan inkarserasi (spasme pada daerah isthmus
serviks, sering disebabkan oleh kelebihan dosis analgesik). Diagnosis
ditegakkan berdasarkan adanya plasenta tidak lahir spontan dan tidak
yakin apakah plasenta lengkap.
Terapi
untuk retensio atau inkarserasi adalah 35 unit Syntocinon (oksitosin)
IV yang diikuti oleh usaha pengeluaran secara hati-hati dengan tekanan
pada fundus. Jika plasenta tidak lahir, usahakan pengeluaran secara
manual setelah 15 menit. Jika ada keraguan tentang lengkapnya
plasenta,lakukan palpasi sekunder.
7. Ruptur Uteri
Penyebab
rupture uteri meliputi tindakan obstetric (versi), ketidakseimbangan
fetopelvik, letak lintang yang diabaikan kelebihan dosis obat untuk
nyeri persalinan atau induksi persalinan, jaringan parut pada uterus
(keadaan setelah seksio sesaria, meomenukleasi, operasi Strassman,
eksisi baji suetu tuba), kecelakaan (kecelakaan lalu lintas), sangat
jarang.
Rupture Uteri mengancam
(hampir lahir) diagnosis melalui temuan peningkatan aktifitas kontraksi
persalinan (gejolak nyeri persalinan), terhentinya persalinan, regangan
berlebihan disertai nyeri pada segmen bawah rahim (sering gejala
utama), pergerakan cincin Bandl ke atas, tegangan pada ligament
rotundum, dan kegelisahan wanita yang akan bersalin.
Rupture yang sebenarnya didiagnosis
melalui temuan adanya kontraksi persalinan menurun atau berhenti
mendadak (munculnya sebagian atau seluruh janin kedalam rongga abdomen
yang bebas), berhentinya bunyi jantung atau pergerakannya atau keduanya,
peningkatan tekanan akibat arah janin, gejala rangsangan peritoneal
(nyeri difus, muscular defence, dan nyeri tekan) keadaan
syok peritoneal, perdarahan eksternal (hanya pada 25% kasus),
perdarahan internal (anemia, tumor yang tumbuh cepat disamping rahim
yang menunjukkan hematoma karena rupture inkompletus/ terselubung).
Rupture tenang
didiagnosis melalui temuan setiap keadaan syok yang tidak dapat
dijelaskan pada inpartum atau pasca partum dan harus dicurigai
dibsebabkan oleh ruptur uteri.
Terapi untuk gangguan ini meliputi hal-hal berikut.
1. Histerektomi total, umumnya rupture meluas ke segmen bawah uteri, sering ke dalam serviks.
2. Hesterektomi supra vagina hanya dalam kasus gawat darurat.
3. Membersihkan uterus dan menjahit rupture, bahaya rupture baru pada kehamilan berikutnya sangat tinggi.
4. Pada
hematoma parametrium dan angioreksis (ruptur pembuluh darah). Buang
hematoma hingga bersih, jika perlu ikat arteri iliaka hipogastrikum.
5. Pengobatan antisyok harus dimulai bahkan sebelum dilakukan operasi.
8. Perdarahan Pascapersalinan
Penyebab
gangguan ini adalah kelainan pelepasan dan kontraksi, rupture serviks
dan vagina (lebih jarang laserasi perineum), retensio sisa plasenta, dan
koagulopati. Perdarahan pascapersalinan tidak lebih dari 500 ml selama
24 jam pertama, kehilangan darah 500 ml atau lebih berarti bahaya syok.
Perdarahan yang terjadi bersifat mendadak sangat parah (jarang),
perdarahan sedang (pada kebanyakan kasus), dan perdarahan sedang menetap
(terutama pada ruptur). Peningkatan anemia akan mengancam terjadinya
syok, kegelisahan, mual, peningkatan frekuensi nadi, dan penurunan
tekanan darah.
Terapinya
bergantung penyebab perdarahan, tetapi selalu dimulai dengan pemberian
infuse dengan ekspander plasma, sediakan darah yang cukup untuk
mengganti yang hilang, dan jangan memindahkan penderita dalam keadaan
syok yang dalam. Pada perdarahan sekunder atonik:
1. Beri Syntocinon (oksitosin) 5-10 unit IV, tetes oksitosin dengan dosis 20 unit atau lebih dalam larutan glukosa 500 ml.
2. Pegang dari luar dan gerakkan uterus ke arah atas.
3. Kompresi uterus bimanual.
4. Kompresi aorta abdominalis.
5. Lakukan hiserektomi sebagai tindakan akhir.
9. Syok Hemoragik
Penyebab gangguan ini.
1. Perdarahan eksterna atau interna yang menyebabkan hiposekmia atau ataksia vasomotor akut.
2. Ketidakcocokan
antara kebutuhan metabolit perifer dan peningkatan transpor gangguan
metabolic, kekurangan oksigen jaringan dan penimbunan hasil sisa
metabolik yang menyebabkan cidera sel yang semula reversibel kemudian
tidak reversibel lagi.
3. Gangguan mikrosirkulasi.
Diagnosis
ditegakkan berdasarkan tekanan darah dan nadi; pemeriksaan suhu, warna
kulit, dan membrane mukosa perbedaab suhu antara bagian pusat dan
perifer badan; evaluasi keadaan pengisian (kontraksi) vena dan evaluasi
palung kuku; keterlambatan pengisian daerah kapiler setelah kuku
ditekan; dan ekskresi urin tiap jam.
Setiap
penderita syok hemoragik di rawat di rumah sakit. Terapi awal syok
bertujuan mengembalikan hubungan normal antara volume kecepatan
denyutjantung dan kebutuhan perifer yang sebenarnya.
10. Syok Septik (Bakteri, Endotoksin)
Penyebab
gangguan ini adalah masuknya endotoksin bakteri gram negative (coli,
proteus, pseudomonas, aerobakter, enterokokus). Toksin bakteri gram
positif (streptokokus, Clostridium welchii) lebih jarang
terjadi. Pada abortus septic, sering terjadi amnionitis atau
pielonefritis. Adanya demam sering didahului dengan menggigil, yang
diikuti penurunan suhu dalam beberapa jam, jarang terjadi hipotermi.
Tanda lain adalah takikardia dan hipotensi yang jika tidak diobati
hamper selalu berlanjut ke syok yang tidak reversible. Gangguan pikiran
sementara (disorientasi) sering tidak diperhatikan. Nyeri pada abdomen
(obstruksi portal dan ekstremitas yang tidak tegas). Ketidakcocokan
antara gambaran setempat dan keparahan keadaan umum. Jika ada gagal
ginjal akut dapat berlanjut ke anuria. Trobopenia sering terjadi hanya
sementara.
Terapi
untuk gangguan ini adalah tindakan segera selama fase awal. Terapi
tambahan untuk pengobatan syok septic (bakteri) selalu bersifat syok
hipovolemik (hipovolemia relatif) adalah terapi infuse secepat mungkin
yang diarahkan pada asidosis metabolik. Terapi untuk infeksi adalah
antibiotika (Leucomycin, kloramfenikol 2-3 mg/hari, penisilin sampai 80
juta satuan/ hari). Pengobatan insufisiensi ginjal dengan pengenalan
dini bagi perkembangan insufisiensi ginjal, manitol (Osmofundin). Jika
insufisiensi ginjal berlanjut 24 jam setelah kegagalan sirkulasi,
diperlukan dialysis peritoneal.
11. Preeklamsia Berat
Istilah
eklamsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti “halilintar”. Kata
tersebut dipakai karena seolah-olah gejala eklamsia terjadi dengan
tiba-tiba tanpa didahului tanda-tanda lain. Pada wanita yang menderita
eklamsia timbul serangan kejang yang diikuti oleh koma. Bergantung pada
saat timbulnya, eklamsia dibedakan menjadi eklamsia gravidarum, eklamsia
parturientum, dan eklamsia puerperalis.
Jika
salah satu diantara gejala atau tanda berikut ditemukan pada ibu hamil,
dapat diduga ibu tersebut mengalami preeklamsia berat.
1. Tekanan darah 160/110 mmHg.
2. Oligouria, urin kurang dari 400 cc/ 24 jam.
3. Proteinuria, lebih dari 3g/ liter.
4. Keluhan subyektif (nyeri epigastrium, gangguan penglihatan, nyeri kepala, edema paru, sianosis, gangguan kesadaran).
5. Pada
pemeriksaan, ditemukan kadar enzim hati meningkat disertai ikterus,
perdarahan pada retina, dan trombosit kurang dari 100.000/ mm.
Diagnosis
eklamsia harus dapat dibedakan dari epilepsy, kejang karena obat
anesthesia, atau koma karena sebab lain seperti diabetes. Komplikasi
yang terberat adalah kematian ibu dan janin.
Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejang dapat diberikan :
1. Larutan magnesium sulfat 40%
sebanyak 10 ml (4 gram) disuntikkan intra muskulus pada bokong kiri dan
kanan sebagai dosis permulaan, dan dapat diulang 4 gram tiap jam
menurut keadaan. Obat tersebut selain menenangkan juga menurunkan
tekanan darah dan meningkatkan dieresis.
2. Klorpomazin 50 mg intramuskulus.
3. Diazepam 20 mg intramuskulus.
Penanganan
kejang dengan memberi obat anti-konvulsan, menyediakan perlengkapan
untuk penanganan kejang (jalan napas, masker,dan balon oksigen), memberi
oksigen 6 liter/menit, melindungi pasien dari kemungkinan trauma tetapi
jangan diikat terlalu keras, membaringkan pasien posisi miring kiri
untuk mengurangi resiko respirasi. Setelah kejang, aspirasi mulut dan
tenggorok jika perlu.
Penanganan umum meliputi :
1. Jika
setelah penanganan diastolik tetap lebih dari 110 mmHg, beri obat anti
hipertensi sampai tekanan diastolik di antara 90-100mmHg.
2. Pasang infus dengan jarum besar (16G atau lebih besar).
3. Ukur keseimbangan cairan jangan sampai terjadi overload cairan.
4. Kateterisasi urin untuk memantau pengeluaran urin dan proteinuria.
5. Jika
jumlah urin kurang dari 30 ml/jam, hentikan magnesium sulfat dan
berikan cairan IV NaCl 0,9% atau Ringer laktat 1 L/ 8 jam dan pantau
kemungkinan edema paru.
6. Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi muntah dapat mengakibatkan kematian ibu dan janin.
7. Observasi tanda-tanda vital, refleks, dan denyut jantung tiap jam.
8. Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru.
9. Hentikan pemberian cairan IV dan beri diuretic (mis: furosemid 40 mg IV sekali saja jika ada edema paru).
10. Nilai pembekuan darah jika pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit (kemungkinan terdapat koagulopati).
0 komentar:
Posting Komentar